YOGYAKARTA: Fenomena kejahatan jalanan yang melibatkan pelajar berulang kali terjadi di wilayah DIY.
Terakhir, seorang siswa SMK di Yogya, Egy Hermawan (17) warga Sewon harus meregang nyawa setelah dikeroyok pelajar dari sekolah lain usai menonton pertandingan futsal bersama rekannya akhir pekan lalu.
“Klitih atau pun kejahatan lain yang dilakukan pelajar seharusnya tak terjadi kalau siswa itu sudah senang belajar di sekolah. Intinya membuat siswa senang dulu belajar di sekolah,” ujar Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY Kadarmanta Baskara Aji di sela melaunching SMA Negeri 1 Sleman sebagai Gerakan Sekolah Menyenangkan bersama Wakil Bupati Sleman Sri Muslimatun, Rabu 25 September 2019.
Baskara menuturkan, membuat sekolah menjadi tempat menyenangkan untuk belajar butuh kerja keras tersendiri. “Ekosistem itu dibuat, kalau tidak diciptakan tidak bisa,” ujarnya.
Baskara menuturkan membuat sekolah menjadi ramah siswa dan menyenangkan menjadi kebutuhan penting untuk mengepras kultur kultur peninggalan masa lalu. Dirinya tak menampik masih banyak sekolah yang di dalamnya terdapat kultur yang melanggengkan junioritas dan senioritas. Masalahnya, kultur junior-senior ini kerap menggunakan kekerasan sebagai caranya.
Siswa-siswa yang terbilang junior pun kerap merasa terpojok sehingga lambat laun membuat kultur kekerasan ini beregenerasi.
Baskara pun menilai, gerakan sekolah menyenangkan seperti yang diinisiasi SMAN 1 Sleman ini bisa menjadi satu jalan alternatif membentuk karakter siswa untuk mendorong siswa berperilaku dewasa dan bijaksana.
“Kami yakini, pelajar yang melakukan sesuatu yang ‘tidak baik’ biasanya karena dia ada masalah di sekolah maupun lingkungannya,” ujar Baskara.
Pengajar Fakultas Teknik UGM yang juga pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan Prof Muhammad Rizal mengatakan platform gerakannya sebagai gerakan akar rumput telah dan akan terus mengubah paradigma pendidikan.
“Dalam prosesnya, gerakan ini berjuang untuk mengubah nalar standardisasi yang monoton, menjadi nalar personalized yang menghargai keunikan anak didik,” ujarnya.
Dengan menghargai keunikan anak-anak, ujar Rizal, gerakannya turut menegaskan bahwa orientasi kebijakan pendidikan tak seharusnya mengacu pada kejayaan masa lalu, melainkan dengan mengakomodasi kebutuhan anak-anak untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Seperti menyoroti kebijakan zonasi yang diterapkan belakangan ini mengarahkan para siswa untuk mendaftar ke sekolah yang berjarak tidak jauh dari tempat tinggalnya. Tujuan akhirnya tentu adalah pemerataan pendidikan di Indonesia, namun beberapa masalah baru justru timbul. Salah satunya adalah siswa yang tidak mendapat sekolah karena persoalan administrasi maupun lokasi yang jauh.
“Zonasi ala gerakan ini tidak bisa serta-merta tercipta dengan memaksa siswa sekolah di lokasi rumah terdekat. Jika pemerataan mutu sekolah belum tercipta, tujuan akhir dari kebijakan tersebut masih akan sulit tercapai. Zonasi hanya mampu diwujudkan dengan membangun ekosistem sekolah yang memanusiakan, menyenangkan, aman, dan menghargai potensi serta keunikan siswa secara meluas,” ujarnya.
Wakil Bupati Sleman Sri Muslimatun, menilai perilaku klitih yang masih kerap terjadi di kalangan pelajar, terjadi karena kebutuhan yang tidak terpenuhi.
“Kebutuhan siswa sebagai manusia tidak terpenuhi kemudian mencari pemenuhan kebutuhan itu di tempat lain dengan cara salah satunya kekerasan,” ujarnya.
Sri menilai sekolah sebagai ruang siswa menjadi salah satu medium untuk siswa memenuhi kebutuhannya sebagai pelajar. Sekolah, ujar Sri, sudah seharusnya menjadi tempat menyenangkan bagi siswa menggapai cita-cita sesuai minatnya.
“Sekolah tidak hanya harus jadi rumah kedua, tapi surga kedua agar anak-anak nyaman dan betah. Seperti yang dilakukan lewat gerakan sekolah menyenangkan ini,” ujar Sri menambahkan. (Fordi)
Terakhir, seorang siswa SMK di Yogya, Egy Hermawan (17) warga Sewon harus meregang nyawa setelah dikeroyok pelajar dari sekolah lain usai menonton pertandingan futsal bersama rekannya akhir pekan lalu.
“Klitih atau pun kejahatan lain yang dilakukan pelajar seharusnya tak terjadi kalau siswa itu sudah senang belajar di sekolah. Intinya membuat siswa senang dulu belajar di sekolah,” ujar Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga DIY Kadarmanta Baskara Aji di sela melaunching SMA Negeri 1 Sleman sebagai Gerakan Sekolah Menyenangkan bersama Wakil Bupati Sleman Sri Muslimatun, Rabu 25 September 2019.
Baskara menuturkan, membuat sekolah menjadi tempat menyenangkan untuk belajar butuh kerja keras tersendiri. “Ekosistem itu dibuat, kalau tidak diciptakan tidak bisa,” ujarnya.
Baskara menuturkan membuat sekolah menjadi ramah siswa dan menyenangkan menjadi kebutuhan penting untuk mengepras kultur kultur peninggalan masa lalu. Dirinya tak menampik masih banyak sekolah yang di dalamnya terdapat kultur yang melanggengkan junioritas dan senioritas. Masalahnya, kultur junior-senior ini kerap menggunakan kekerasan sebagai caranya.
Siswa-siswa yang terbilang junior pun kerap merasa terpojok sehingga lambat laun membuat kultur kekerasan ini beregenerasi.
Baskara pun menilai, gerakan sekolah menyenangkan seperti yang diinisiasi SMAN 1 Sleman ini bisa menjadi satu jalan alternatif membentuk karakter siswa untuk mendorong siswa berperilaku dewasa dan bijaksana.
“Kami yakini, pelajar yang melakukan sesuatu yang ‘tidak baik’ biasanya karena dia ada masalah di sekolah maupun lingkungannya,” ujar Baskara.
Pengajar Fakultas Teknik UGM yang juga pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan Prof Muhammad Rizal mengatakan platform gerakannya sebagai gerakan akar rumput telah dan akan terus mengubah paradigma pendidikan.
“Dalam prosesnya, gerakan ini berjuang untuk mengubah nalar standardisasi yang monoton, menjadi nalar personalized yang menghargai keunikan anak didik,” ujarnya.
Dengan menghargai keunikan anak-anak, ujar Rizal, gerakannya turut menegaskan bahwa orientasi kebijakan pendidikan tak seharusnya mengacu pada kejayaan masa lalu, melainkan dengan mengakomodasi kebutuhan anak-anak untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Seperti menyoroti kebijakan zonasi yang diterapkan belakangan ini mengarahkan para siswa untuk mendaftar ke sekolah yang berjarak tidak jauh dari tempat tinggalnya. Tujuan akhirnya tentu adalah pemerataan pendidikan di Indonesia, namun beberapa masalah baru justru timbul. Salah satunya adalah siswa yang tidak mendapat sekolah karena persoalan administrasi maupun lokasi yang jauh.
“Zonasi ala gerakan ini tidak bisa serta-merta tercipta dengan memaksa siswa sekolah di lokasi rumah terdekat. Jika pemerataan mutu sekolah belum tercipta, tujuan akhir dari kebijakan tersebut masih akan sulit tercapai. Zonasi hanya mampu diwujudkan dengan membangun ekosistem sekolah yang memanusiakan, menyenangkan, aman, dan menghargai potensi serta keunikan siswa secara meluas,” ujarnya.
Wakil Bupati Sleman Sri Muslimatun, menilai perilaku klitih yang masih kerap terjadi di kalangan pelajar, terjadi karena kebutuhan yang tidak terpenuhi.
“Kebutuhan siswa sebagai manusia tidak terpenuhi kemudian mencari pemenuhan kebutuhan itu di tempat lain dengan cara salah satunya kekerasan,” ujarnya.
Sri menilai sekolah sebagai ruang siswa menjadi salah satu medium untuk siswa memenuhi kebutuhannya sebagai pelajar. Sekolah, ujar Sri, sudah seharusnya menjadi tempat menyenangkan bagi siswa menggapai cita-cita sesuai minatnya.
“Sekolah tidak hanya harus jadi rumah kedua, tapi surga kedua agar anak-anak nyaman dan betah. Seperti yang dilakukan lewat gerakan sekolah menyenangkan ini,” ujar Sri menambahkan. (Fordi)