SUARAKAN.COM : Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Tangerang Imran Bukhari Razif SH MH berpendapat kasus jual-beli tanah Yayasan Pembina Universitas Muria Kudus (YP UMK) seharusnya tidak menjadi ranah pidana tetapi cukup perdata.
Pendapat ini dia sampaikan berdasarkan eksepsi cukup kronologis yang disampaikan oleh Lilik Riyanto dan Zamhuri dalam lanjutan persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Kudus, 28 Agustus 2019, terkait jual-beli tanah yayasan tersebut.
“Proses jual-belinya clear dan clean, ya,” ujar alumni Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Universitas Indonesia ini.
Melalui rilisnya, Selasa (1/10/2019), dia menyampaikan perdata adalah perkara yang menyangkut perorangan dan bukan dalam relasi negara atau masyarakat dan perseorangan.
“Audit tahun 2015 juga sudah jelas meski ada perbedaan pemahaman pada nominal uang yang telah dikeluarkan YP UMK sebesar Rp Rp 13.050.000.000, yang seharusnya hanya Rp 12.702.800.000. Ini karena salah posting sebagaimana dijelaskan dalam eksepsi,” tambahnya.
Berdasarkan tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum pada persidangan 21 Agustus 2019 di PN Kudus, Lilik Riyanto dan Zamhuri dituntut dengan pasal 374 atau 372 atau 378 KUHP.
“Jika ditilik dari masing-masing pasal yang dituntutkan dan dikroscek dari eksepsi, tuntutan jaksa tersebut cukup lemah dan seharusnya bisa batal demi hukum,” kata Imran.
Pada pasal pertama yang dituntutkan kepada Lilik Riyanto dan Zamhuri yakni 374 KUHP disebutkan, “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Dalam ekspepsinya yang dibacakan di PN Kudus, Lilik menyatakan proses kronologi jual-beli tanah jelas dan dapat dibuktikan. Mulai dari proses pembelian awal pada 2014 saat Lilik Riyanto mengeksekusi pembelian tanah dari Muhammad Ali, perikatan jual beli, hingga kemudian pembatalan jual-beli pada 2016 yang dilanjutkan dengan proses pengembalian uang YP UMK melalui rekening Lilik Riyanto.
Muhammad Ali kemudian mengembalikan dana sesuai Akta Kesepakatan Pembatalan Sebesar Rp 10.202.800.000, pada 20 September 2018 ke rekening Bank Mandiri atas nama Lilik Riyanto. Uang tersebut langsung ditransfer ke rekening pribadi dengan alasan dari awal jual-beli sampai pada pembatalan Muhammad Ali langsung berhubungan dengan Lilik secara pribadi bukan dengan YP UMK.
Menurut Lilik, pada 28 September 2018 dana sebesar Rp 10.202.800.000 telah ditransfer ke rekening BNI Cabang Kudus No 0294596209 atas nama Yayasan Pembina Universitas Muria Kudus.
Transfer itu kemudian diinformasikan dengan surat tertanggal 29 September 2018 dan sudah dijawab dengan surat dari Pengurus YP UMK No 124/YM/H.25.16/X/2018 tanggal 1 Oktober 2018. Artinya tidak ada unsur penggelapan yang disertai dengan adanya upah dari proses jual beli tersebut.
Apa yang dilakukan Lilik Riyanto dalam proses jual beli tanah tersebut semua atas sepengetahuan pengurus YP UMK yang dilaporkan dalam rapat yayasan. Tidak ada upaya melawan hukum yang dilakukan Lilik, kecuali kesalahan posting dalam pembukuan tahun 2015 sebagaimana disampaikan dalam eksepsinya.
Setelah dilakukan penghitungan bersama, sebagaimana Akta Pengikatan Jual Beli No 08 tanggal 16 Juni 2014 pembayaran tanah Pladen baru terbayar sebesar Rp 10.202.800.000, sehingga masih kurang bayar sebesar Rp 2.500.000.000. Jadi tidak benar telah terbayar sebesar Rp 13.050.000.000.
Lilik menyatakan dirinya menerima uang sejumlah Rp 2.500.000.000 yang merupakan bagian pinjaman uang dari Muhammad Ali. Uang tersebut telah ditransfer ke rekening YP UMK pada 20 Januari 2016 ke rekening BNI YPUMK Rp 1.000.000.000, pada 25 Januari 2016 ke rekening BNI YPUMK Rp 500.000.000, pada 26 Mei 2016 ke rekening BSM YPUMK Rp 1.000.000.000.
“Sementara uang Rp 347.200.000 saya gunakan untuk pembiayaan pembangunan Rumah Sakit Muria Hospital. Dengan demikian uang yang dikeluarkan YP UMK sebesar Rp 13.050.000.000 pada Laporan Keuangan Akhir tahun 2015, perlu dikoreksi adanya salah posting.
Laporan di akhir tahun 2016 menjadi sebagai berikut: Uang muka pembelian tanah sebesar Rp 10.202.800.000, Kas (dana yang sudah masuk) dari Muhammad Ali Rp 2.500.000.000 dan Uang Muka pendirian RS Rp 347.200.000, sehingga total Rp 13.050.000.000.
“Salah posting dalam pembukuan yang sudah dikoreksi tidak bisa diperkarakan pidana. Seharusnya perdata,” ujar Imran Bukhari.
Dia menegaskan, proses jual beli yang dilakukan oleh Lilik Riyanto dan Zamhuri dilakukan dengan jelas dan transparan serta bisa dilacak dengan bukti rekening koran rekening pribadi dan YP UMK.
Tidak ada unsur tipu muslihat, kebohongan, maupun tendensi menguntungkan diri sendiri ataupun orang lain. Penggunakan nama pribadi Lilik Riyanto semata-mata untuk kemudahan proses pembuatan Akta Perikatan Jual-Beli.
“Namun demikian telah saya buatkan Surat Pernyataan bahwa tanah yang dalam proses pembelian tersebut adalah milik YP UMK,” terang Lilik Riyanto dalam eksepsinya.
Di akhir eksepsinya, Lilik menyatakan pembelian tanah Pladen adalah peristiwa perdata, sehingga apabila menjadi laporan Pidana seharusnya ada Audit Khusus mengenai keuangan pembelian tanah tersebut.
“Perlu saya tegaskan, proses pembelian tanah Pladen belum terjadi, pembelian tanah yang saya lakukan mengatasnamakan pengurus YP UMK. Tidak ada niat sedikit pun untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap atau ditafsirkan sebagai sebuah tindakan yang melanggar ketentuan KUHP sebagaimana Laporan Pengawas kepengurusan tahun 2017-2022 di mana salah satu pengurusnya yang menjabat tahun 2010-2016,” paparnya.
Ada atau tanpa persetujuan tertulis tentang program pembelian tanah Pladen oleh Pembina merupakan syarat formal yang bisa diusulkan untuk keperluan administrasi, bukan persoalan subtansi atau meterial dalam hukum Pidana itu sendiri, karena masing-masing pengurus merupakan perwakilan dan eks ofisio di masing-masing instansi atau perusahaan.
“Secara hukum program pembelian tanah Pladen sudah otomatis disetujui pembina. Terlebih program pembelian tanah sudah menjadi program pengurus yang telah disetujui pada usulan program kerja pengurus masa bakti 2010-2015, pada saat laporan pertanggungjawaban pengurus 2005-2010 dan Rencana program kerja tahun 2010-2015 yang disetujui oleh pembina,” kata Lilik Riyanto.
Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Dr Salman Luthan SH MH menyatakan sanksi perdata fokus pada ganti kerugian, sedangkan sanksi pidana pada pemberian penderitaan kepada pelaku.
Kasus perdata tertentu dapat berubah menjadi pidana apabila dalam kasus perdata tertentu ada niat jahat atau itikat buruk untuk merugikan kepentingan masyarakat atau negara yang di dalamnya ada kepentingan perseorangan.
Dari eksepsi yang dituliskan, tidak ada niat jahat dan itikat buruk untuk merugikan kepentingan masyarakat dalam hal ini YP UMK atau negara.
Mengenai pergeseran perkara perdata yang bisa berubah menjadi pidana, pengajar Program Pascasarjana UII Yogyakarta ini mengatakan kadang-kadang terjadi intervensi eksternal, tapi kebanyakan karena perbedaan perspektif pemahaman. (Panji Dewa)
Pendapat ini dia sampaikan berdasarkan eksepsi cukup kronologis yang disampaikan oleh Lilik Riyanto dan Zamhuri dalam lanjutan persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Kudus, 28 Agustus 2019, terkait jual-beli tanah yayasan tersebut.
“Proses jual-belinya clear dan clean, ya,” ujar alumni Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Universitas Indonesia ini.
Melalui rilisnya, Selasa (1/10/2019), dia menyampaikan perdata adalah perkara yang menyangkut perorangan dan bukan dalam relasi negara atau masyarakat dan perseorangan.
“Audit tahun 2015 juga sudah jelas meski ada perbedaan pemahaman pada nominal uang yang telah dikeluarkan YP UMK sebesar Rp Rp 13.050.000.000, yang seharusnya hanya Rp 12.702.800.000. Ini karena salah posting sebagaimana dijelaskan dalam eksepsi,” tambahnya.
Berdasarkan tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum pada persidangan 21 Agustus 2019 di PN Kudus, Lilik Riyanto dan Zamhuri dituntut dengan pasal 374 atau 372 atau 378 KUHP.
“Jika ditilik dari masing-masing pasal yang dituntutkan dan dikroscek dari eksepsi, tuntutan jaksa tersebut cukup lemah dan seharusnya bisa batal demi hukum,” kata Imran.
Pada pasal pertama yang dituntutkan kepada Lilik Riyanto dan Zamhuri yakni 374 KUHP disebutkan, “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Dalam ekspepsinya yang dibacakan di PN Kudus, Lilik menyatakan proses kronologi jual-beli tanah jelas dan dapat dibuktikan. Mulai dari proses pembelian awal pada 2014 saat Lilik Riyanto mengeksekusi pembelian tanah dari Muhammad Ali, perikatan jual beli, hingga kemudian pembatalan jual-beli pada 2016 yang dilanjutkan dengan proses pengembalian uang YP UMK melalui rekening Lilik Riyanto.
Muhammad Ali kemudian mengembalikan dana sesuai Akta Kesepakatan Pembatalan Sebesar Rp 10.202.800.000, pada 20 September 2018 ke rekening Bank Mandiri atas nama Lilik Riyanto. Uang tersebut langsung ditransfer ke rekening pribadi dengan alasan dari awal jual-beli sampai pada pembatalan Muhammad Ali langsung berhubungan dengan Lilik secara pribadi bukan dengan YP UMK.
Menurut Lilik, pada 28 September 2018 dana sebesar Rp 10.202.800.000 telah ditransfer ke rekening BNI Cabang Kudus No 0294596209 atas nama Yayasan Pembina Universitas Muria Kudus.
Transfer itu kemudian diinformasikan dengan surat tertanggal 29 September 2018 dan sudah dijawab dengan surat dari Pengurus YP UMK No 124/YM/H.25.16/X/2018 tanggal 1 Oktober 2018. Artinya tidak ada unsur penggelapan yang disertai dengan adanya upah dari proses jual beli tersebut.
Apa yang dilakukan Lilik Riyanto dalam proses jual beli tanah tersebut semua atas sepengetahuan pengurus YP UMK yang dilaporkan dalam rapat yayasan. Tidak ada upaya melawan hukum yang dilakukan Lilik, kecuali kesalahan posting dalam pembukuan tahun 2015 sebagaimana disampaikan dalam eksepsinya.
Setelah dilakukan penghitungan bersama, sebagaimana Akta Pengikatan Jual Beli No 08 tanggal 16 Juni 2014 pembayaran tanah Pladen baru terbayar sebesar Rp 10.202.800.000, sehingga masih kurang bayar sebesar Rp 2.500.000.000. Jadi tidak benar telah terbayar sebesar Rp 13.050.000.000.
Lilik menyatakan dirinya menerima uang sejumlah Rp 2.500.000.000 yang merupakan bagian pinjaman uang dari Muhammad Ali. Uang tersebut telah ditransfer ke rekening YP UMK pada 20 Januari 2016 ke rekening BNI YPUMK Rp 1.000.000.000, pada 25 Januari 2016 ke rekening BNI YPUMK Rp 500.000.000, pada 26 Mei 2016 ke rekening BSM YPUMK Rp 1.000.000.000.
“Sementara uang Rp 347.200.000 saya gunakan untuk pembiayaan pembangunan Rumah Sakit Muria Hospital. Dengan demikian uang yang dikeluarkan YP UMK sebesar Rp 13.050.000.000 pada Laporan Keuangan Akhir tahun 2015, perlu dikoreksi adanya salah posting.
Laporan di akhir tahun 2016 menjadi sebagai berikut: Uang muka pembelian tanah sebesar Rp 10.202.800.000, Kas (dana yang sudah masuk) dari Muhammad Ali Rp 2.500.000.000 dan Uang Muka pendirian RS Rp 347.200.000, sehingga total Rp 13.050.000.000.
“Salah posting dalam pembukuan yang sudah dikoreksi tidak bisa diperkarakan pidana. Seharusnya perdata,” ujar Imran Bukhari.
Dia menegaskan, proses jual beli yang dilakukan oleh Lilik Riyanto dan Zamhuri dilakukan dengan jelas dan transparan serta bisa dilacak dengan bukti rekening koran rekening pribadi dan YP UMK.
Tidak ada unsur tipu muslihat, kebohongan, maupun tendensi menguntungkan diri sendiri ataupun orang lain. Penggunakan nama pribadi Lilik Riyanto semata-mata untuk kemudahan proses pembuatan Akta Perikatan Jual-Beli.
“Namun demikian telah saya buatkan Surat Pernyataan bahwa tanah yang dalam proses pembelian tersebut adalah milik YP UMK,” terang Lilik Riyanto dalam eksepsinya.
Di akhir eksepsinya, Lilik menyatakan pembelian tanah Pladen adalah peristiwa perdata, sehingga apabila menjadi laporan Pidana seharusnya ada Audit Khusus mengenai keuangan pembelian tanah tersebut.
“Perlu saya tegaskan, proses pembelian tanah Pladen belum terjadi, pembelian tanah yang saya lakukan mengatasnamakan pengurus YP UMK. Tidak ada niat sedikit pun untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap atau ditafsirkan sebagai sebuah tindakan yang melanggar ketentuan KUHP sebagaimana Laporan Pengawas kepengurusan tahun 2017-2022 di mana salah satu pengurusnya yang menjabat tahun 2010-2016,” paparnya.
Ada atau tanpa persetujuan tertulis tentang program pembelian tanah Pladen oleh Pembina merupakan syarat formal yang bisa diusulkan untuk keperluan administrasi, bukan persoalan subtansi atau meterial dalam hukum Pidana itu sendiri, karena masing-masing pengurus merupakan perwakilan dan eks ofisio di masing-masing instansi atau perusahaan.
“Secara hukum program pembelian tanah Pladen sudah otomatis disetujui pembina. Terlebih program pembelian tanah sudah menjadi program pengurus yang telah disetujui pada usulan program kerja pengurus masa bakti 2010-2015, pada saat laporan pertanggungjawaban pengurus 2005-2010 dan Rencana program kerja tahun 2010-2015 yang disetujui oleh pembina,” kata Lilik Riyanto.
Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Dr Salman Luthan SH MH menyatakan sanksi perdata fokus pada ganti kerugian, sedangkan sanksi pidana pada pemberian penderitaan kepada pelaku.
Kasus perdata tertentu dapat berubah menjadi pidana apabila dalam kasus perdata tertentu ada niat jahat atau itikat buruk untuk merugikan kepentingan masyarakat atau negara yang di dalamnya ada kepentingan perseorangan.
Dari eksepsi yang dituliskan, tidak ada niat jahat dan itikat buruk untuk merugikan kepentingan masyarakat dalam hal ini YP UMK atau negara.
Mengenai pergeseran perkara perdata yang bisa berubah menjadi pidana, pengajar Program Pascasarjana UII Yogyakarta ini mengatakan kadang-kadang terjadi intervensi eksternal, tapi kebanyakan karena perbedaan perspektif pemahaman. (Panji Dewa)