SUARAKAN.COM, JOGJA : Lembaga Setara Institute mengutuk keras penyerangan yang dialami Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Republik Indonesia, Wiranto oleh terduga teroris (10/10/2019).
"Terorisme dan segala bentuk ekstremisme kekerasan merupakan musuh bersama seluruh bangsa dan umat manusia," ujar Direktur Eksekutif Setara Insitute
Ismail Hasani Jumat (11/10).
Menurut Ismail, segala bentuk terorisme dan ekstremisme kekerasan (violent extremism) serta penggunaan doktrin ideologis apapun mengganggu dan merusak tatanan hidup bersama bangsa dan negara.
Terorisme dinilai merupakan ancaman nyata. Oleh karena itu, pemerintah harus selalu menyiagakan dan memobilisasi sumber daya yang memadai untuk mencegah dan menangani ekspresi puncak ekstremisme kekerasan tersebut, demi menjaga dan melindungi keselamatan seluruh warga negara.
Meskipun demikian, ujar Ismail pencegahan terorisme menuntut pemerintah harus memiliki formula yang presisi, holistik dan berkelanjutan dalam kerangka HAM dan demokrasi. Pemerintah harus fokus pada hulu terorisme dan mempersempit enabling environment yang mempercepat inkubasi terorisme.
"Pencegahan dan penanganannya tidak cukup mengandalkan kelembagaan dan sumber daya negara. Negara memang harus menjadi agensi utama dalam pencegahan ekstremisme kekerasan. Namun demikian, dibutuhkan juga partisipasi dan keterlibatan warga, khususnya dalam pencegahannya, sehingga akan terbangun perlawanan semesta terhadap terorisme," ujarnya.
Menurutnya, agenda penguatan ketahanan warga (resilience) adalah kebutuhan untuk membentengi warga dari paparan dan intrusi gerakan dan narasi antikebinekaan dan Pancasila. Dalam konteks itu, Pendidikan Kebinekaan dan tata kelola yang inklusif harus digalakkan, agar seluruh anak bangsa dapat hidup bersama secara damai di tengah aneka perbedaan.
Di samping itu, promosi toleransi mesti menjadi agenda kolektif yang berkelanjutan. Oleh karena itu merebaknya intoleransi dan radikalisme harus ditangani sejak dini.
"Kami mengingatkan kembali bahwa intoleransi merupakan anak tangga pertama menuju terorisme," ujarnya.
Ismail menilai kasus penyerangan kepada Wiranto harus dibaca sebagai serangan terhadap negara, yang menimbulkan efek berlapis dan memperpanjang usia keresahan di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, ujar Ismail, aparat keamanan mesti meningkatkan kewaspadaan dengan mengantisipasi konsolidasi sel-sel tidur dan aksi teror yang memanfaatkan berbagai momentum politik nasional.
"Tetapi, antisipasi ini dilakukan dengan tidak melakukan generalisasi termasuk penggunaan isu intoleransi dan radikalisme sebagai alat penundukkan gerakan sipil yang melakukan koreksi atas sejumlah kekeliruan kebijakan sejumlah elemen negara," ujar Ismail.
Dalam kasus ini, Kepolisian RI dan Badan Intelijen Negara (BIN) menyebut Abu Rara merupakan anggota Jamaah Ansharu Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS. Abu Rara merupakan jaringan Abu Zee yang ditangkap oleh Polisi di Bekasi (23/9/2019).
Ismail mengatakan pola organisasi dan pendekatan amaliah JAD bentukan Aman Abdurrahman, yang divonis mati untuk sejumlah kasus terorisme (22/06/2018), memang berbeda dari organisasi terorisme lainnya yang melakukan aksi dalam skala besar.
Jejaring organisasi JAD sangat cair dengan sleeping cell (sel tidur) tidak terstruktur tetapi menyebar dan mengadopsi pendekatan lone wolf (bergerak secara sendiri-sendiri) dalam melakukan amaliah.
"Gerakan sporadis dan sendiri-sendiri dilakukan oleh anggota JAD yang meskipun tindakan kecil tetapi memelihara efek keresahan berkepanjangan," ujarnya.
(M.Tunggul)
"Terorisme dan segala bentuk ekstremisme kekerasan merupakan musuh bersama seluruh bangsa dan umat manusia," ujar Direktur Eksekutif Setara Insitute
Ismail Hasani Jumat (11/10).
Menurut Ismail, segala bentuk terorisme dan ekstremisme kekerasan (violent extremism) serta penggunaan doktrin ideologis apapun mengganggu dan merusak tatanan hidup bersama bangsa dan negara.
Terorisme dinilai merupakan ancaman nyata. Oleh karena itu, pemerintah harus selalu menyiagakan dan memobilisasi sumber daya yang memadai untuk mencegah dan menangani ekspresi puncak ekstremisme kekerasan tersebut, demi menjaga dan melindungi keselamatan seluruh warga negara.
Meskipun demikian, ujar Ismail pencegahan terorisme menuntut pemerintah harus memiliki formula yang presisi, holistik dan berkelanjutan dalam kerangka HAM dan demokrasi. Pemerintah harus fokus pada hulu terorisme dan mempersempit enabling environment yang mempercepat inkubasi terorisme.
"Pencegahan dan penanganannya tidak cukup mengandalkan kelembagaan dan sumber daya negara. Negara memang harus menjadi agensi utama dalam pencegahan ekstremisme kekerasan. Namun demikian, dibutuhkan juga partisipasi dan keterlibatan warga, khususnya dalam pencegahannya, sehingga akan terbangun perlawanan semesta terhadap terorisme," ujarnya.
Menurutnya, agenda penguatan ketahanan warga (resilience) adalah kebutuhan untuk membentengi warga dari paparan dan intrusi gerakan dan narasi antikebinekaan dan Pancasila. Dalam konteks itu, Pendidikan Kebinekaan dan tata kelola yang inklusif harus digalakkan, agar seluruh anak bangsa dapat hidup bersama secara damai di tengah aneka perbedaan.
Di samping itu, promosi toleransi mesti menjadi agenda kolektif yang berkelanjutan. Oleh karena itu merebaknya intoleransi dan radikalisme harus ditangani sejak dini.
"Kami mengingatkan kembali bahwa intoleransi merupakan anak tangga pertama menuju terorisme," ujarnya.
Ismail menilai kasus penyerangan kepada Wiranto harus dibaca sebagai serangan terhadap negara, yang menimbulkan efek berlapis dan memperpanjang usia keresahan di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, ujar Ismail, aparat keamanan mesti meningkatkan kewaspadaan dengan mengantisipasi konsolidasi sel-sel tidur dan aksi teror yang memanfaatkan berbagai momentum politik nasional.
"Tetapi, antisipasi ini dilakukan dengan tidak melakukan generalisasi termasuk penggunaan isu intoleransi dan radikalisme sebagai alat penundukkan gerakan sipil yang melakukan koreksi atas sejumlah kekeliruan kebijakan sejumlah elemen negara," ujar Ismail.
Dalam kasus ini, Kepolisian RI dan Badan Intelijen Negara (BIN) menyebut Abu Rara merupakan anggota Jamaah Ansharu Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS. Abu Rara merupakan jaringan Abu Zee yang ditangkap oleh Polisi di Bekasi (23/9/2019).
Ismail mengatakan pola organisasi dan pendekatan amaliah JAD bentukan Aman Abdurrahman, yang divonis mati untuk sejumlah kasus terorisme (22/06/2018), memang berbeda dari organisasi terorisme lainnya yang melakukan aksi dalam skala besar.
Jejaring organisasi JAD sangat cair dengan sleeping cell (sel tidur) tidak terstruktur tetapi menyebar dan mengadopsi pendekatan lone wolf (bergerak secara sendiri-sendiri) dalam melakukan amaliah.
"Gerakan sporadis dan sendiri-sendiri dilakukan oleh anggota JAD yang meskipun tindakan kecil tetapi memelihara efek keresahan berkepanjangan," ujarnya.
(M.Tunggul)